14 Nov 2012

SEPATU DAHLAN



NOVEL SEPATU DAHLAN, KISAH INSPIRATIF DARI MASA KECIL DAHLAN ISKAN

 

“HIDUP, bagi orang miskin, harus dijalani apa adanya." Kalimat itu ditulis oleh Dahlan Iskan sebagai pengantar  novel  “Sepatu Dahlan” yang diinspirasi oleh kisah hidup masa kecilnya. Novel yang merupakan buku pertama dari trilogi novel inspirasi Dahlan Iskan ini ditulis oleh Khrisna Pabichara dan diterbitkan oleh Noura Books. Novel ini mengisahkan masa kecil Dahlan Iskan yang tumbuh besar dengan dua impian yaitu sepatu kets dan sepeda serta kisah cintanya  dengan seorang gadis bernama Aisha.


Kisah dalam novel ini  bercerita tentang jalan hidup Dahlan Iskan, suka dan dukanya, tangis dan tawanya, terutama mengenai optimisme dan rasa syukur. Novel ini berisi kisah-kisah luar biasa dengan pesan moral yang sangat kuat. Tentang perjuangan, kerja keras dan semangat pantang menyerah seorang anak miskin untuk mencapai masa depan yang jauh lebih baik dengan latar belakang peristiwa pemberontakan PKI di Madiun. Juga tentang tanggung jawab, penghormatan, kasih sayang, kesantunan dan kepatuhan terhadap orang tua.

“Sepatu Dahlan” mengawali kisanya tentang seorang anak yang terlahir dari keluarga miskin yang hidup di sebuah desa bernama Kebon Dalem di Magetan (Jawa Timur). Rasa lapar yang melilit-lilit perutnya menjadi sahabat setianya dalam menjalani kehidupan, sampai-sampai ia dan adiknya harus melilitkan sarung di perutnya untuk menahan perih lambungnya karena lapar. Semua itu ia jalani dengan tabah dan ikhlas.  Baginya selalu ada cara untuk menikmati setiap detik kehidupan yang diberikan Tuhan. Dengan segala keterbatasan dan segala kekurangan ia tetap bisa tersenyum. Bahkan ketika ia kena hukuman karena tertangkap mencuri tebu, semua itu dijalaninya dengan tersenyum.

Setelah lulus dari Sekolah Rakyat Bukur Dahlan ingin sekali bisa melanjutkan di SMP Magetan, sekolah menengah favorit di daerahnya. Tetapi, harapan itu sirna ketika ayahnya yang berwatak tegas melarangnya untuk bersekolah disana dengan alasan biaya yang mahal dan jarak yang jauh. Dengan berat hati ia harus rela mengikuti kehendak ayahnya untuk bersekolah di Madrasah  Tsanawiyah Takeran, sekolah dengan biaya lebih terjangkau dan bisa ditempuhnya dengan jalan kaki.
Sosok Dahlan kecil digambarkan sebagai seorang anak yang gigih dan ulet memperjuangkan masa depannya.  Ia sangat  konsisten dengan mimpi dan cita-citanya. Sejak duduk di MTs, ia selalu bermimpi untuk memiliki sebuah sepatu, sepatu yang membuatnya merasa nyaman dan gagah. Dahlan berusaha sekuat tenaga untuk mewujudkan mimpinya. Ia berjuang untuk mengumpulkan uang dari upahnya kuli nyeset dan kuli nandur yang dijalaninya  setiap sepulang sekolah. Namun upahnya selalu terpakai untuk kebutuhan mengganjal perut karena karena bapaknya yang bekerja sebagai petani dan ibunya sebagai pembatik, tak selalu mujur mendapatkan uang.  Kemiskinan tidak membuat Dahlan menyerah. Dari hari ke hari Dahlan tekun menyusun langkah. Dengan konsisten dan optimisme tinggi ia selalu memupuk serta memelihara cita-citanya hingga akhirnya dia dapat mewujudkannya.

Berkat kerja kerasnya sebagai pelatih tim voli di perkebunan tebu, Dahlan berhasil mengumpulkan uang untuk membeli sepeda secara mencicil dan kemudian mampu membeli dua pasang sepatu untuk dirinya dan adiknya, Zein. Semua itu baru dapat diwujudkannya ketika ia duduk di kelas tiga SMA (Madrasah Aliyah). Karena merasa sayang dan takut rusak,  sepatu itu kemudian lebih banyak ditenteng daripada dipakai.

Dahlan tumbuh menjadi anak yang tangguh dan penyabar. Kehidupan menempa dan mendidik Dahlan dengan keras. Kemiskinan, kehilangan dan keinginan yang sulit tercapai menjadi guru yang berharga. Kematian ibunya dan kepergian kakaknya untuk merantau ke Kalimantan sempat membuat Dahlan terpuruk. Namun kemudian kehilangan orang-orang tercinta  itu mendidik Dahlan menjadi pribadi yang matang dan dewasa, karena ia harus bertanggung jawab untuk melindungi dan mengasuh adiknya. Ayah yang tegas dan ibu yang sangat perhatian membuat Dahlan menjadi anak yang tabah dan sabar  menjalani kehidupan yang serba kekurangan.
Ayahnya mengajarkan kepada Dahlan untuk menjadi pribadi yang bertanggung jawab dan punya harga diri walaupun mereka miskin. Demi rasa tanggung jawab dan kehormatan, ia harus merelakan domba-dombanya untuk mengganti sepeda Maryati yang rusak akibat “kenakalannya”. Memang tidak mudah menjalani kehidupan bagi anak yang baru menginjak remaja, apalagi dalam kondisi miskin. Kemiskinan membuat Dahlan harus selalu mengesampingkan kebutuhan pribadi yang tidak terlalu penting.

Sahabat-sahabat sejati, selalu menemani sedih dan tangis bersama. Kehangatan  kasih sayang dalam menghadapi sebuah belenggu kemiskinan adalah hiburan jiwa yang tak tergantikan. Demikian juga Dahlan, menjalin persahabatan dalam tangis dan tawa dengan teman-teman sekolahnya. Persahabatan itu mengajarkan kepada Dahlan untuk berbagi, saling memahami, dan menerima segala perbedaan.
Jika kita berusaha, niscaya Tuhan akan mengabulkan doa kita. Walaupun sepatu sederhana dan sepeda bekas, ia berhasil membelinya dengan keringat dan jerih payahnya sendiri. Yaitu dari gajinya sebagai pelatih bola voli. Sebuah pelajaran berharga bagi semua orang. Tentang mimpi, kesabaran, ketekunan, dan ketabahan dalam menghadapi berbagai rintangan hidup ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar