NOVEL SEPATU DAHLAN, KISAH INSPIRATIF DARI MASA KECIL DAHLAN ISKAN
“HIDUP, bagi orang miskin, harus dijalani apa adanya." Kalimat itu
ditulis oleh Dahlan Iskan sebagai pengantar novel “Sepatu Dahlan” yang diinspirasi oleh kisah hidup
masa kecilnya. Novel yang merupakan buku pertama dari trilogi novel inspirasi
Dahlan Iskan ini ditulis oleh Khrisna Pabichara dan diterbitkan oleh Noura Books. Novel
ini mengisahkan masa kecil Dahlan Iskan yang tumbuh besar dengan dua impian
yaitu sepatu kets dan sepeda serta kisah cintanya dengan seorang gadis bernama Aisha.
Kisah dalam novel ini bercerita tentang jalan hidup Dahlan Iskan, suka dan dukanya,
tangis dan tawanya, terutama mengenai optimisme dan rasa syukur.
Novel
ini
berisi kisah-kisah luar biasa dengan pesan moral yang sangat kuat. Tentang perjuangan, kerja keras dan semangat pantang
menyerah seorang anak miskin untuk mencapai masa depan yang jauh lebih baik
dengan latar belakang peristiwa pemberontakan PKI di Madiun. Juga tentang tanggung jawab, penghormatan, kasih sayang,
kesantunan dan kepatuhan terhadap orang tua.
“Sepatu Dahlan” mengawali kisanya tentang
seorang anak yang terlahir dari keluarga miskin yang hidup di sebuah desa bernama Kebon Dalem di Magetan (Jawa Timur). Rasa lapar yang
melilit-lilit perutnya menjadi sahabat setianya
dalam menjalani kehidupan, sampai-sampai ia dan adiknya harus melilitkan sarung di perutnya
untuk menahan perih lambungnya karena lapar. Semua itu ia jalani dengan tabah
dan ikhlas. Baginya selalu ada cara untuk menikmati
setiap detik kehidupan yang diberikan Tuhan. Dengan segala keterbatasan dan
segala kekurangan ia tetap bisa tersenyum. Bahkan ketika ia kena
hukuman karena tertangkap mencuri tebu, semua itu dijalaninya dengan tersenyum.
Setelah lulus dari Sekolah Rakyat
Bukur Dahlan ingin
sekali bisa melanjutkan di SMP
Magetan, sekolah menengah favorit di daerahnya. Tetapi, harapan itu sirna
ketika ayahnya yang berwatak tegas
melarangnya untuk bersekolah disana dengan alasan biaya yang mahal dan jarak yang jauh. Dengan berat hati ia harus rela mengikuti kehendak ayahnya untuk bersekolah di
Madrasah Tsanawiyah Takeran, sekolah dengan biaya lebih terjangkau dan bisa ditempuhnya dengan jalan kaki.
Sosok
Dahlan kecil digambarkan sebagai seorang anak yang gigih dan ulet
memperjuangkan masa depannya. Ia sangat konsisten
dengan mimpi dan cita-citanya. Sejak duduk di MTs,
ia selalu bermimpi untuk memiliki sebuah sepatu, sepatu yang membuatnya merasa
nyaman dan gagah. Dahlan berusaha sekuat tenaga untuk mewujudkan mimpinya. Ia berjuang untuk mengumpulkan uang dari upahnya kuli nyeset dan kuli nandur yang dijalaninya setiap sepulang sekolah. Namun upahnya
selalu terpakai untuk kebutuhan mengganjal perut karena karena bapaknya yang bekerja sebagai petani dan ibunya sebagai
pembatik, tak selalu mujur mendapatkan uang. Kemiskinan
tidak membuat Dahlan menyerah. Dari hari ke hari Dahlan tekun menyusun langkah. Dengan konsisten dan optimisme tinggi ia selalu memupuk serta memelihara
cita-citanya hingga akhirnya dia dapat mewujudkannya.
Berkat kerja
kerasnya sebagai pelatih tim voli di perkebunan tebu, Dahlan berhasil mengumpulkan
uang untuk membeli sepeda secara mencicil dan kemudian mampu membeli dua pasang
sepatu untuk dirinya dan adiknya, Zein. Semua itu baru dapat diwujudkannya
ketika ia duduk di kelas tiga SMA (Madrasah Aliyah). Karena merasa sayang dan takut rusak, sepatu itu kemudian lebih banyak ditenteng daripada
dipakai.
Dahlan tumbuh menjadi anak yang tangguh
dan penyabar. Kehidupan menempa dan mendidik Dahlan dengan keras. Kemiskinan,
kehilangan dan keinginan yang sulit tercapai menjadi guru yang berharga. Kematian
ibunya dan kepergian kakaknya untuk merantau ke Kalimantan sempat membuat
Dahlan terpuruk. Namun kemudian kehilangan orang-orang tercinta itu mendidik Dahlan menjadi pribadi yang
matang dan dewasa,
karena ia harus bertanggung jawab untuk melindungi dan mengasuh adiknya. Ayah
yang tegas dan ibu yang sangat perhatian membuat Dahlan menjadi anak yang tabah
dan sabar menjalani kehidupan yang serba
kekurangan.
Ayahnya mengajarkan kepada Dahlan untuk menjadi pribadi yang
bertanggung jawab dan punya harga diri walaupun mereka miskin. Demi rasa
tanggung jawab dan kehormatan, ia harus merelakan domba-dombanya untuk
mengganti sepeda Maryati yang rusak akibat “kenakalannya”. Memang tidak mudah menjalani
kehidupan bagi anak yang baru menginjak remaja, apalagi dalam kondisi
miskin.
Kemiskinan membuat Dahlan harus selalu mengesampingkan kebutuhan pribadi yang
tidak terlalu penting.
Sahabat-sahabat sejati, selalu menemani sedih dan tangis bersama.
Kehangatan kasih sayang dalam menghadapi sebuah belenggu kemiskinan
adalah hiburan jiwa yang tak tergantikan. Demikian juga Dahlan, menjalin persahabatan dalam
tangis dan tawa dengan teman-teman sekolahnya. Persahabatan itu mengajarkan
kepada Dahlan untuk berbagi, saling memahami, dan menerima segala perbedaan.
Jika kita berusaha, niscaya Tuhan akan mengabulkan doa
kita. Walaupun sepatu sederhana dan sepeda bekas, ia berhasil membelinya dengan keringat dan jerih payahnya sendiri. Yaitu dari gajinya sebagai pelatih bola voli. Sebuah pelajaran berharga bagi semua orang. Tentang
mimpi, kesabaran, ketekunan, dan ketabahan dalam menghadapi berbagai rintangan
hidup ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar